Gema suara adzan dhuhur yang dikumandangkan Sofyan terdengar dari masjid, menembus dinding-dinding kamar, menyeruak memasuki telinga setiap santri di kampus ini. Membangunkan santri-santri yang sedang qailulah melepaskan kepenatan aktivitas harian, maupun yang masih sibuk dengan rutinitas. Suara muadzin ini masih seperti dulu, besar (seperti orangnya yang gemuk subur), keras, tapi kurang begitu merdu. Sepertinya yang dia andalkan cuma kerasnya suara saja (ah..aku ini bisanya hanya mengkritik saja). Afwan sobat, aku nggak bermaksud mengejekmu, tapi kenyataannya memang seperti itu kok….
Sejenak terpikir olehku untuk mengakhiri aktivitasku, menyusun buku tauhid proyek dari divisi dieniyah yang akan dibagikan untuk santri-santri baru. Namun, aku masih saja asyik dan belum beranjak, seakan pantat ini telah menempel di bantal tempat dudukku yang sudah memanas sedari tadi (moga nggak gosong-gosong amat). Ada saja bagian-bagian kalimat dalam setiap paragraph yang ingin aku teliti dan koreksi dari kesalahan.
Sugeng, salah seorang temanku yang berasal dari Trenggalek tiba-tiba saja menghampiriku, kemudian tanpa disuruh ia memijit-mijit pundakku. “Pak, sudah pak! Sudah adzan, berhenti dulu nanti dilanjut lagi”, katanya. “Ah,,, nikmat sekali rasanya, sudah lama tubuhku tidak pijat. Rasa nikmat ini kurasakan mungkin karena akhir-akhir ini aku banyak lembur disibukkan oleh tugas akhir skripsi dan proyek ini”, gumamku dalam hati. Sengaja aku tidak memujinya karena biasanya setiap kali dipuji, mereka (yang suka mijit tiba-tiba) langsung berhenti, kecewa dech...
Namun ternyata aku salah, belum ada satu menit dia berhenti memijit pundakku dan akan berpaling dariku. Langsung saja aku tegur dia tanpa malu-malu, “Lho... pak, kok berhenti???”, kataku seolah meununtut pertanggungjawaban atas enak yang barusan kurasakan.
“Sudah pak, jika adzan telah dikumandangkan, tinggalkanlah semua aktivitas, termasuk pijat memijat”. Ia pun berlalu bersiap-siap menunaikan shalat dhuhur. (eh....sebelumnya sudah tahu khan, kenapa kita memanggil sesama teman dengan panggilan ‘PAK’?)
Benar juga katanya jangan sampai aku terlena oleh kepentingan dunia, aku pun tersadar dan segera menyudahi aktivitasku. Kututup jendela office, kamus digital dan semua aplikasi yang aku gunakan, shutdown computer, cabut flasdisk dan pergi ke WC sebentar untuk kikuk-kikuk, untuk kemudian bergegas pergi ke masjid yang berjarak kurang lebih 20 meter dari arah depan kamar kami. Biasanya sieh,,,, aku ambil wudhu di kamar mandi, tapi karena sedang antri dan persediaan air sedang menipis, aku pun memutuskan untuk berwudhu di masjid saja. Aku segera keluar dari kamar, cari sandal dan…. Hemmmm, nyeker lagi dech, alhamdulillah meski berat.
Matahari siang ini terik sekali, hingga membuat pandangan mata menjadi silau. Tapi hal ini sudah biasa, karena Surabaya bagian timur ini memang terkenal panas dan pengap. Belum lagi di bagian kota maupun kawasan industri, pasti lebih panas. Tapi mereka para karyawan pabrik tampaknya tak begitu memperdulikannya, mungkin terpaksa karena tuntutan mencari nafkah.
Ketika menuju tempat wudhu di sisi timur masjid, tampak kulihat sosok berbaju biru tua sedang tertatih hendak memasuki masjid. Sosok itu tidak asing bagiku, ia adalah ustadz Sofyan, persis seperti nama temanku yang jadi muadzin tadi. Salah satu dosen favorit anak-anak Tarbiyah. Meski itu bukan jurusanku, tapi aku lumayan kenal dengannya. Hal itu karena aku sempat membantu di bagian administrasi kantor yang otomatis membuatku sering bersua dengannya. Aku pun sedikit tahu latar belakang beliau, mulai dari kiprahnya dalam dunia pendidikan di kampus-kampus besar Jawa Timur, terlebih di kampus kecilku yang tetap tegar meski terseok mengadapi arus perubahan dan persaingan yang semakin deras (he he he... kayak air terjun aja, tapi kami yakin kok,,,, dengan pertolongan-Nya dan usaha nyata kami pasti bisa).
Juga tentang semangat beliau dalam menjalani kehidupan di tengah-tengah sakit yang beliau derita. Ya,,, mungkin saja, semangatnya yang menggebu itu membuat dia lupa untuk menjaga kesehatan (meski semua kemungkinan dapat terjadi, karena Allah Maha Kuasa), hingga diabetes yang keji akhirnya menjangkitinya. Entahlah,,,, sudah berapa biaya yang dia habiskan untuk berobat. Pernah ku mendengar banyak asset keluarga yang telah ludes demi kepentingan pengobatan sakit yang dia derita. Meski begitu, kini ia hampir saja menyelesaikan S3-nya, katanya sieh, ia terganjal dana sehingga tidak bisa ikut ujian disertasi doctoral-nya. Herannya, ia tidak sedikit pun mengharap belas kasihan dari orang-orang yang kenal baik dengannya, bahkan walaupun banyak prestasi yang telah dia torehkan, ia tidak (belum) berniat untuk mengurus sertifikasi, program baru pak SBY.
Awalnya aku tak memperdulikannya, namun tiba-tiba saja terbersit dalam pikiranku untuk menyapa dan bersalaman dengannya. Kuucapkan salam dan menjabat tangannya. Ia menjawab salam ku dengan penuh antusias dan menanyakan kabarku. Aku ingin melepas jabatan tanganku bermaksud untuk segera berwudhu. Namun tangan beliau masih menggenggam tanganku dengan kuat, seolah mengisyaratkan agar aku menuntunnya menaiki tangga kecil masjid yang tingginya hanya tiga puluh centimeter saja, itu pun dibagi menjadi tiga tingkat. Tapi ustadz Sofyan sepertinya keberatan untuk menaikinya. Aku pun urung melepas tanganku dan menuntunya hingga memasuki area masjid. “Alhamdulillah,,,!”, kudengar gumamnya.
Ketika aku menuntunnya, ia bertanya padaku: “bagaimana keluhanmu?, sudah sembuh?. “Alhamdulillah, sudah ustadz” jawabku. Dalam kondisinya yang seperti itu, ia masih sempat menanyakan kabarku. Padahal untuk shalat saja, ia tidak mampu berdiri. Ia memang memiliki kepedulian tinggi dengan para mahasiswa. (oya,,, salah satu kelebihan yang ada di kampus kami adalah, antara dosen dan mahasiswa tidak sekat yang membuat kita sulit berkomunikasi, sehingga setiap saat mereka siap membantu).
Ustadz Sofyan terkadang memang aku jadikan sasaran curhat, termasuk dua bulan yang lalu ketika aku terserang typus. Jadi wajar jika dia menanyakan kondisiku.
“bagaimana kata dokter” tanyanya padaku, membuat aku sedikit tersentak dari lamunanku. “oh,,, tidak apa-apa ustadz, katanya hanya infeksi saja”, jawabku segera, agar tidak terkesan lola.
“iya.... kamu ini hanya kecapekan saja”, tambahnya.
“mungkin iya ustadz, kemaren diberi obat saja oleh dokter, dan sekarang alhamdulillah sudah mendingan”, kataku meyakinkannya bahwa aku sudah baikkan, agar dia tidak terlalu risau. Kasihan jika harus terbebani dengan memikirkan salah satu mahasiswa yang mbuandel ini.
 “pokoknya dengan ujian apa pun, harus tetap bersabar!’.
“Oyaa... ustadz, ana duluan, mau ambil wudhu”, pamitku padanya.
“ya... terima kasih ya..!”, “afwan ustadz!”, jawabku sambil berlari ke tempat wudhu, khawatir masbuk.
Di tempat wudhu itu, entah kenapa? Kata-kata terakhir beliau untuk senantiasa bersabar masih terngiang di telingaku, padahal aku tak berusaha untuk mengingatnya. Saat aku membasuh kedua tangan hingga kaki kiriku. Bahkan semakin menggema ketika aku bermakmum shalat dhuhur, terus dan terus, mengusik pikiranku.
Sekilas, ungkapan itu memang biasa saja, karena betapa banyak dan sering aku mendengarnya. Tetapi kata-kata itu mengiang terus dalam benakku, refleks nuraniku pun mengaitkan dengan kondisi yang aku alami yang kurang begitu sabar dalam menjalani kehidupan.
Aku pun sering mendengar begitu mudahnya orang menganjurkan untuk bersabar, namun “sabar” memang tak semudah diucapkan lisan. Padahal, betapa banyak Allah mengingatkan dalam banyak ayat di kitab suci Al-Qur’an anjuran untuk senantiasa bersabar jika mengharap pertolongan-Nya datang. Dalam sebuah riwayat (insyallah shahih) pun, dikatakan bahwa pahala orang yang sabar tidak akan terputus dan kelak ia akan memakai pakaian dari sutra di surga. Dan masih banyak lagi keutamaan bagi orang-orang yang sabar.
Bukankah, hanya karena tidak mampu bersabar seringkali kali membuat kita gegabah dalam mengambil keputusan. Negeri ini .................. (aku nggak tega jika harus membicarakan kondisi nagaraku), yang masyarakatnya semakin pragmatis, hedonis (aku nggak begitu paham apa itu artinya, tapi semoga kita bukan bagian dari mereka) dan tidak sabar menghadapi berbagai ujian, akhirnya banyak yang terjerembab dalam kenistaan. (semoga kondisi segera berakhir).
Tentunya bukan sabar sebagaimana dipahami oleh orang-orang malas, yaitu diam saja tidak mau berusaha merubah keadaan. Karena pertolongan Allah juga tergantung dari usaha kita dalam menggapai perubahan ke arah yang lebih baik. Seorang ulama mengatakan, yang dinamakan sabar itu adalah “engkau menaiki kuda dengan kencang, kecepatan tinggi, namun engkau tidak terjatuh karenanya”.
Ya,,, kata yang hanya terdiri dari lima huruf itu memang mudah dilontarkan, tapi perlu latihan yang terus menerus, istiqamah agar merasuk dalam jiwa kita. Sabar menghadapi berbagai ujian yang berupa bencana maupun kenikmatan. Sabar dalam ketaatan dan sabar dalam kemaksiatan.
Meniru istilahnya Ceetrul;
Tapi kenapa banyak orang, lebih mudah mengucapkannya  daripada mengamalkannya. 



Sabar le....sing sabar yo le,,,, (pesan simbah, ketika Ibu pergi meninggalkanku untuk selamanya).


5 Comments

  1. Kesabaran...? Klo aku ibaratkan adalah sebuah liontin permata....... Makanya Allah menjanjikan buah yang manis-manis bagi orang yang bersabar. Karena kesabaran itu ada buahnya.

    BalasHapus
  2. buah yang nggak bisa langsung dipanen, ya tho???

    BalasHapus
  3. Wah....antum ni punya potensi tuk buat cerpen akhi...
    Hm...terkait sabar...aku baru benar-benar butuh terhadapnya ketika ku sakit beberapa waktu lalu...memang tidak mudah bersabar....

    BalasHapus
  4. Kalo saya pernah mendengar, sabar itu adalah sikap ketika "pukulan" pertama... ketika kita diterpa musibah, dan kita tidak kalap dalam menghadapinya saat itu juga...itulah sabar.

    Subhanallah ceritanya, ditunggu kisah sederhananya lagi..
    jzk, :)

    BalasHapus
  5. apapun ujian kita mesti mampu bersabar
    dan sabar itu susah
    tak heran orang sabar begitu dicintai Tuhan
    mau dicintai Tuhan? berusaha selalu sabar :)

    BalasHapus

hai-hai... thank's very-very much ya buat kamu-kamu yang sudah meluangkan waktu buat mampir diblog ini. Meskipun content2nya belum sesuai dengan tema blog (belajar bareng), kuharap nggak menghalangi buat komentar...