Ada ungkapan lama yang nggak bakalan lekang dimakan usia dan patut dijadikan bahan renungan:

“Hidup untuk makan atau makan untuk hidup?”
Idealnya, kita makan untuk hidup, namun seringkali kita lupa,sehingga menganggap kalau hidup kita hanya untuk makan.
Postingan kali ini bukan mau membahas itu, apalagi berfilosofi tentangnya (nggak nyampe sob). Aku hanya ingin bercerita saja tentang kejadian yang kualami dalam aktivitas keseharian (makanya aku labelin mydiary (meski lebih tepat disebut uneg-uneg, biar ngejreng githu).  Tentu saja cerita yang ada kaitannya dengan makan-memakan sesuai judul. Ha ha ha hemmm nyaem-nyaemmmm…...
Siang tadi, seperti biasa selepas shalat dhuhur di masjid kampusku “Aqsal Madinah”, aku segera menuju kekamar untuk ganti baju setelah sebelumnya ngaji sebentar dan muroja’ah hafalan. Seperti biasa juga, ketika sedang ngaji, teman-teman satu kamar pasti berseliweran kesana kemari, keluar masuk, naik turun entah apa yang dicari (seandainya,,, aku tahu isi hati mereka..>>), ada yang ngajak makan, ada yang tanya odol, pinjam buku, tanya mufrodat, minta diajarin, dll (“ngganggu orang ngaji saja pikirku”, *yang ini jangan ditiru*). Setelah dirasa cukup ngaji dan muroja’ahnya, ada sesuatu yang mengetuk dinding perut ini, ya,,, aku harus segera makan, kata bapak, kalo makannya telat nanti bisa kena maag,,,, yahhh,, jadi ingat rumah nih.

Dengan gerakan yang cukup gesit aku segera meletakkan kitab suciku, ganti baju, lari tanpa sandal (rupanya ada yg take without permission lagi alias ghosob) menuju dapur tersayang, karena di tempat itulah selama kurang lebih 6 bulan ini memenuhi hasrat makanku (3 tahun lalu tempat makannya masih nggak karuan, ikuti episode selanjutnya).

Seperti biasa lagi (kok miskin kosa kata banget sih), santri-santri mulai dari smp, sma, pt, sampe ustadz2 langsung menuju mas Edy yang wajahnya mirip vokalis ST 12 untuk mengambil makan siangnya. Akupun begitu, nggak mau ketinggalan, ntar nggak kebagian lagi. Biasanya, kalo telat sih memang gak kebagian nasi, memang harus terapkan strategi “siapa cepat siapa dapat”. Keberadaan dapur baru ini, terutama para mahasiswa merupakan anugerah tersendiri yang sangat luarbiasa. Karena semenjak dapur ini berdiri, selera makan kami meningkat, meski jatah nasi berkurang. Itu dikarenakan jatah makan kami disamakan dengan santri SMP-SMA yang bayar dan tentu saja jatah makannya lebih waahhh. Sebagai mahasiswa yang nggak bayar, harus rela makan apa saja, asal bisa dimakan. (lihat suatu saat nanti).

Ya,,, semenjak makan kami bareng sama santri-santri SMP-SMA, lauk yang dimakan lumayan enak daripada yang dulu. Namun, bila tidak bersama mereka kami harus rela makan   kembali kemasa lalu. Misalnya ketika mereka libur atau pualng kerumah, pasti lauk makan kita….. jadi nggak tega menulisnya. Tapi tidak mengapa, karena hidup ini pengorbanan, kami hanya bisa membayangkan kondisi dirumah, ketika dekat dengan keluarga, meski makan seadanya, kenikmatan terasa.
Dan siang tadi, keadaan tersebut terulang. Karena mereka sedang pulang ke rumah setelah tiga hari camping sekaligus bhakti sosial di Claket (itu tuh pemandian air hangat di Mojokerto), mereka harus pulang untuk istirahat. Sebenarnya aku nggak setuju peraturan ini, masak mudah sekali mereka pulang, lha wong belajar kok sering pulang, sedangkan yang mahasiswa kalo izin pulang pasti dipersulit.

Jatah makan siang kali ini adalah mihon yang digoreng (otomatis berminyak, dan aku kurang begitu suka) plus krupuk 2 (dua) biji (Alhamdulillah). Kulihat, wajah teman-teman seperti merana dengan lauk pauk seadanya itu.
Tapi, aku teringat salah satu temenku yang selalu menikmati kondisi itu. Karenanya diantara teman-teman yang lain dia paling subur plus gemuk. Mungkin karena dia menikmati apa yang disajikan ibu dapur atau entah memang anaknya termasuk manusia jenis yang memakan apa saja.
Suatu ketika temen pernah bilang kalo dia pernah bertanya kenapa dia bisa makan dengan lahap jika lauknya seperti itu. Dengan enteng dia menjawab : “aku ini enak makan bukan makan enak, jika makanannya tidak enak kita enakin aja makannya”. Ooo…. Jadi selama ini,,,,
Aku termenung, mungkin selama ini aku kurang bersyukur. Seharusnya apa yang ada harus aku syukuri. (Eehhh nasinya dah habis).
*******______********


4 Comments

  1. Jadi inget adhek, wakt pertama mondok yg dikeluhn adalah soal makan, hdp dgn org bnyak emg gak bisa semaunya. Ikhlas saja, cuma itu yg harus dilakuin biar awet dan krasan :P
    hidup untk makan, kalo gak mkn ga idup haha, gak bs ngeblog lg dong :D

    BalasHapus
  2. Salam. Boleh saya menebak? Antum santri Hidayatullah ya? Kalau ya, sama. Nih kunjungan baliknya. Salam u/ Mukhlis, Ahmad Muafi, Edy Kurniawan.

    BalasHapus
  3. Salam. Boleh saya menebak? Antum santri Hidayatullah ya? Kalau ya, sama. Nih kunjungan baliknya. Salam u/ Mukhlis, Ahmad Muafi, Edy Kurniawan.

    BalasHapus
  4. Nyun2: Siiip mbak, pokoke, kalo mau tetep hidup harus tetap makn, minum jg tentunya....

    Kang Kosim: kok tahu kang??? oke dech ..ntar tak sampeken ,,InsyaAllah

    BalasHapus

hai-hai... thank's very-very much ya buat kamu-kamu yang sudah meluangkan waktu buat mampir diblog ini. Meskipun content2nya belum sesuai dengan tema blog (belajar bareng), kuharap nggak menghalangi buat komentar...